Seni Tinggal di Bumi: Resensi Buku
Sebagai makhluk bumi, kita musti tahu seni untuk meninggalinya.
Kak Farah Qoonita ialah penulis
dari buku antimainstream ini. Dengan berisikan sekumpulan tulisan dari hati,
Kak Farah berhasil membuat pembaca memeroleh bekal untuk tinggal di bumi.
Menurut aku, buku ini kombinasi antara self-improvement (pengembangan diri)
dengan keagamaan. Yang sudah membaca buku ini harusnya peka karena “disindir”
secara halus oleh Kak Farah wkwkwk…
Kak Farah menyebutkan manusia
memiliki teknologi tercanggih bernama tangan. Sebenarnya, digunakan untuk apa
tangan kita selama ini? Seberapa lemahnya kita yang mudah mengeluh padahal
hanya mengetik tugas sekolah atau kuliah yang sedikit jika dibandingkan ulama
terdahulu yang giat menulis ratusan karya.
Diceritakan juga fenomena social
climber atau panjat sosial yang sering dilakukan manusia saat ini. Apakah
tujuan yang ingin diraih? Ketenaran dunia? Followers yang naik drastis? Yang
jelas, Kak Farah menyandingkan fenomena social climber ini dengan kisah seorang
budak, hitam legam, tak rupawan, namun naik pesat status sosialnya.
Keteguhannya dalam mempertahankan tauhid dan keindahan suaranya hingga
dinobatkan sebagai muadzin Rasulullah membuat Bilal bin Rabbah menjadi teladan
untuk kita semua. Memang benar jika setiap diri dari kita pasti memiliki ambisi
untuk menjadi orang terkenal atau paling tidak berada di status sosial yang
tinggi. Namun, pilihan kita apakah ingin derajat ketinggiannya hanya sebatas di
bumi ataukah ingin abadi.
Cerita yang dinarasikan Kak Farah
sungguhlah epic karena selalu menghadirkan kisah nyata dari ulama atau sahabat Rasulullah
terdahulu. Jadi, buku ini sangat cocok untuk dijadikan bahan muhasabah diri
karena kisah-kisah yang ditampilkan bukanlah cerita fiktif apalagi hoax.
Buku terbitan dari KANAN
Publishing ini juga memiliki bagian pembuka yang menarik. Jika sebuah buku
biasanya memiliki bagian sekapur sirih sebagai kata pengantar, Kak Farah lebih
memilih menceritakan bagaimana puluhan ribu kata dalam buku ini tercipta. Sebagai
penulis abal-abal, aku merasa kagum karena Kak Farah mengatakan dapat encer
menulis jika ruhiyahnya baik. Tak lupa ia meminta pertolongan dan merayu-Nya
dengan salat tengah malam, serta membaca dan menghafal Al Quran. Katanya, “…
sekonyong-konyong lesatan inspirasi menulis langsung berkelebat di dalam
otakku. Alur, diksi, idenya, semua tersusun dengan mudah dalam otakku. Mereka
menggedor-gedor pintu, memaksaku cepat menulis.”
Kak Farah tak menganggap
tulisannya lahir dari akalnya, melainkan murni karena kehebatan-Nya. Semua ide,
alur, pemilihan diksi, dan inspirasi ia dedikasikan pada-Nya. Pola pikir seperti
inilah yang ternyata ada di balik karya-karya yang mampu menggetarkan jiwa. Aku
merasa bersalah jika selama ini menulis hanya untuk mengejar materi dan hal-hal
yang sifatnya “membutakan”. Bersyukurlah aku dapat membaca karya yang indah
dari Kak Farah ini.
Sepanjang proses membaca, aku
menemukan beberapa hal yang sedikit mengganggu, yaitu pemenggalan kata yang
kurang tepat ketika berganti baris dan beberapa kesalahan penulisan.
Pemenggalan kata yang kurang tepat misalnya pada kata pen-ghubung yang harusnya
peng-hubung. Beberapa kesalahan penulisan kata seperti mecari dan tangamu. Akan
tetapi, hal tersebut tidak menghalangi aku untuk terenyuh ketika membaca tiap
tulisan dari Kak Farah yang penuh hikmah ini.
Terima kasih Kak Farah telah
menulis karya indah ini. Aku yakin Kak Farah menulis buku ini sebagai ungkapan
cinta pada-Nya yang telah memberikan ide cemerlang pada Kak Farah, juga sebagai
bentuk cinta kakak pada makhluk di bumi ini agar tahu bagaimana seni untuk
meninggalinya.
Post a Comment for "Seni Tinggal di Bumi: Resensi Buku"
Post a Comment