Sesuatu yang Bapak Tinggalkan Untukku
Bapak seakan meninggalkan banyak nilai-nilai kehidupan yang sangat berarti untukku. Ada banyak, tak terhitung. Jika dijabarkan sedikit, mungkin seperti ini.
Kesederhanaan
Beliau
adalah sosok yang sangat sederhana. Ibuku pun juga begitu. Sehari-hari, mereka
mengonsumsi makanan yang menurutku tergolong sederhana. Nasi, tempe, tahu,
sayur. Jika nasi sisa, besoknya dibuat jadi nasi goreng. Jajan di luar pun
jarang. Ini pun selalu diajarkan kepada anak-anaknya. Teringat kenangan dahulu,
salah satu dari kami pergi keluar dan memberi makanan satu bungkus. Misal,
bakso satu bungkus. Di rumah kami bagi untuk semua anggota keluarga. Biar
cukup, kami makan bakso bersama nasi.
Ngga
cukup dari makanan, bapak termasuk sosok yang jarang beli barang kalau barang
yang lama belum rusak parah. Aku menjadi saksi bahwa beliau punya sepasang
sepatu hitam untuk mengajar. Sepatu tersebut sudah model kuno, alasnya pun
sudah menipis. Sejak aku SMP sampai lulus S-1, aku masih lihat sepatu itu di
rumah. Sepatu itu bapak pakai hingga beliau pensiun.
Bapak maupun ibu mengajarkan anak-anaknya untuk hidup sederhana. Meski begitu, aku menyadari, aku saat ini, yang sudah terpapar era globalisasi, ngga bisa sesederhana bapak dan ibuku. Ada kalanya aku tergiur ingin beli ini itu yang aku suka, sesuka hati, meski ngga butuh. Namun, aku teringat yang bapak contohkan, aku teringat yang ibuku contohkan. Inilah warisan nilai kehidupan yang menurutku luar biasa. Meski mampu beli, meski punya alat pemenuhan kebutuhan yang cukup, tapi harus tetap sederhana. Value ini sungguh luar biasa bagiku.
Mengalah
Aku yang makin hari makin bertumbuh, menjadi tahu kalau kehidupan bermasyarakat itu tidak selalu indah. Tidak selamanya berjalan baik. Ada kalanya orang tuaku disindir atau mendapat perlakuan kurang baik. Ya, namanya juga kehidupan. Namun, aku tak lihat orang tuaku membalas. Ini bukan bermaksud sombong atau bagaimana. Ada kalanya, melawan/menanggapi itu juga perlu. Sangat perlu malah jika posisinya sudah terpojokkan. Namun, saking sabarnya orang tua, mereka memilih diam saja. Aku terkadang gemas sendiri. Aku perlahan paham, jika orang tuaku pasti ada maksud dari “diamnya itu”. Sekarang, aku pun sadar, memang diam bisa jadi pilihan yang tepat untuk menanggapi omongan/perlakuan tidak adil dari orang lain. Tapi, ini tetap bersifat kondisional.
Kenangan manis
Sebagai
anak bungsu, aku dapat kesempatan paling terakhir untuk meninggalkan rumah. Aku
pernah tinggal di kos saat kuliah. Pulang seminggu sekali. Karena pandemi,
alhamdulillah aku bisa di rumah, sampai wisuda, dan bisa menemani bapak di
waktu-waktu terakhirnya.
Bapak
sakit trigger finger, aku tahu. Jari tangan kirinya sedikit kaku. Dapat saran
dari tetangga, untuk dilakukan pemijatan mandiri dan direndam di air hangat.
Aku sangat bersyukur bisa memijatjari-jarinya bapak. Beliau seperti senang saat
tiap pagi aku pijat jari tangannya. Berbekal tutorial dari seorang terapis di
YouTube, aku seakan jadi pemijat andal. Hehe. Berkat kesabaran bapak, jari
tangannya bisa sembuh, tanpa harus disuntik.
Lalu,
bapak juga sudah lama rutin suntik insulin tiap mau makan. Ini yang cukup aku
sesalkan dalam hidup, ngga berani bantu menyuntikkan insulin. Karena takut
salah suntik, aku nyerah untuk membantu hal itu. Keluarga juga tidak berani.
Akhirnya, bapak suntik mandiri di perut tiap mau makan. Inilah ujian yang sudah
dialami bapak bertahun-tahun. Semoga, sakitnya ini menjadi penggugur
dosa-dosanya. Aamiin.
Lalu,
ketika aku SMP dulu, aku selalu diantar jemput bapak dengan motor. Kalau
jemputan datang terlambat, aku pulang dengan jalan kaki dan sesampai rumah
jelas marah. Lucu kalau diingat. Memalukan kalau harus diulangi lagi. Yang
jelas, masih teringat jelas ketika bapak dulu masih cukup muda, lalu mengantar
dan menjemputku sekolah dengan mengenakan seragam gurunya.
Lalu,
saat aku sering dimintai tolong untuk menyunting soal untuk mahasiswanya,
membuat brosur, membuat undangan pengajian untuk kakakku. Aku seperti juru
ketik. Privillege tersendiri. Hehe. Sekarang, tugas itu sudah tak
kudapat lagi. Terakhir, aku mendapat tugas dari ibu, untuk membuat undangan
yasinan bapak, pengajian untuk bapak, dokumen pengurusan pensiun bapak, dll.
Ada
banyak kenangan yang aku lakukan bersama bapak. Tak terhitung. Bapak yang
sering memberiku nasi kotak/snack hasil beliau rapat. Bapak yang tiap pagi
membangunkanku sholat subuh tapi seringnya aku tanggapi dengan kurang baik.
Bapak yang tiap waktu sholat selalu ngajak sholat jamaah. Bapak yang rutin
mencatat kapan tanggal kadaluarsa STNK semua kendaraan di rumah. Beliau memang mengurusi sedetail itu.
Sekarang lah waktu untuk diriku sendiri berbenah. Lepas kepergian Bapak, rasa cintaku padanya seakan bertambah. Malu rasanya jika apa yang Beliau contohkan masih aku abaikan. Keterlaluan juga kalau aku masih jadi orang yang sama seperti sebelum Beliau kembali pada Allah.
Semua berasal dari Allah, akan kembali lagi pada Allah.
Post a Comment for "Sesuatu yang Bapak Tinggalkan Untukku "
Post a Comment