Tips Menghapus Rasa Benci dari Novel Rindu Karya Tere Liye

                                                 

Bagaimana menghapus rasa benci?

Ada tiga bagian yang dijelaskan oleh Gurutta Ahmad Karaeng, seorang ulama besar di Makassar (tokoh dalam Novel Rindu). 

Bagian pertama

Sebenarnya kita sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu?

Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberi begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham.

Bagian kedua

Terkait berdamai dengan diri sendiri. Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.

Bagian ketiga

Kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apa pun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.


***


Kisah ini berlatarkan situasi saat Hindia Belanda (nama Indonesia dulu) berada dalam jajahan Belanda. Latar tempatnya pun sederhana, yaitu di sebuah kapal uap raksasa bernama Blitar Holland. Ceritanya, kapal ini adalah kapal haji, kapal yang mengangkut rombongan orang-orang Indonesia yang hendak berangkat ke tanah suci. Lamanya berlayar kurang lebih sembilan bulan. Jadi, kapal ini beberapa kali berhenti di pelabuhan untuk mengisi bahan bakar dan menjemput penumpang calon haji.

Penggerak utama ceritanya yaitu Gurutta (ulama masyhur di Makassar yang bertutur dan berperilaku lembut), Ambo Uleng (kelasi kapal yang sedang patah hati), Kapten Phillips (nakhoda Blitar Holland yang baik hati dan egaliter), Daeng Andipati (pengusaha kaya), Anna & Elsa (Anak Daeng Andipati yang cerdas dan periang), Bonda Upe (mantan pelacur di Batavia yang hijrah menjadi guru ngaji), dan Sergeant Lucas (serdadu Belanda yang bengis). Mereka berada dalam satu kapal selama berbulan-bulan.

Sebagai novel best seller, peraih buku Islam terbaik kategori fiksi dewasa Islamic Book Award 2015, Tere Liye berhasil memasukkan konflik keagamaan, konflik batin, dan konflik kebangsaan. Dia membuka fakta jika tak semua orang Belanda menyetujui Hindia Belanda terus-menerus berada dalam penjajahan. Meski begitu, banyak juga pihak Belanda yang penuh curiga pada inlander (pribumi), termasuk pada ulama-ulama yang saat itu bergelora semangatnya agar Indonesia lekas merdeka.

Jika dibandingkan pada masa itu dengan masa sekarang, sungguh beruntung para pribumi yang hidup di zaman Indonesia telah merdeka. Sebagai yang bukan dari kalangan konglomerat/bangsawan, aku tak bisa membayangkan jika hidup di masa Indonesia belum merdeka. Aku pasti tak bisa bebas beraktivitas seperti sekarang. Tiap hari diawasi oleh serdadu-serdadu Belanda yang kejam. Mungkin juga tak bisa mengenyam pendidikan.

Setelah merdeka 1945, apa benar Indonesia sudah bebas dari penjajahan dan intaian serdadu-serdadu Belanda? Atau mungkin ada serdadu-serdadu lain yang tak kasat mata? 

Post a Comment

0 Comments