Relasi Gender dan Ketahanan Keluarga pada Cerpen “Gincu Ini Merah, Sayang” Karya Eka Kurniawan

                                            Gambar oleh Önder Örtel dari Pixabay
 


Menurut Cahyaningtyas (2016), ketahanan keluarga merupakan alat untuk mengukur pencapaian keluarga dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anggota. Tingkat ketahanan keluarga ditentukan oleh perilaku individu dan masyarakat. Individu dan keluarga yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ketahanan keluarga yang baik, akan mampu bertahan dengan perubahan struktur, fungsi dan peranan keluarga yang berubah sesuai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Individu dan keluarga yang mampu bertahan dengan perubahan lingkungan, berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat.

Ketahanan keluarga menjadi tolok ukur kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kemampuan keluarga untuk melakukan kegiatan yang produktif. Otto (McCubbin 1988) menyebutkan komponen ketahanan keluarga (family strengths) meliputi: (a) keutuhan keluarga, loyalitas dan kerja sama dalam keluarga; (b) ikatan emosi yang kuat; (c) saling menghormati antar anggota keluarga; (d) fleksibilitas dalam melaksanakan peran keluarga; (e) kemampuan pengasuhan dan perawatan dalam tumbuh kembang anak; (f) komunikasi yang efektif; (g) kemampuan mendengarkan dengan sensitif; (h) pemenuhan kebutuhan spiritual keluarga; (i) kemampuan memelihara hubungan dengan lingkungan luar keluarga; (j) kemampuan untuk meminta bantuan apabila dibutuhkan; (k) kemampuan untuk berkembang melalui pengalaman; (l) mencintai dan mengerti; (m) komitmen spiritual; (n) berpartisipasi aktif dalam masyarakat.

Keluarga termasuk sistem rabbani bagi manusia yang mengandung semua karakteristik dasar fitrah manusia, kebutuhan, dan unsurnya. Keluarga juga merupakan tempat pengasuhan alami untuk melindungi anak yang baru tumbuh, merawatnya, serta mengembangkan fisik, akal, dan spiritualitasnya. Dalam naungan keluarga, perasaan cinta, empati, dan solidaritas berpadu dan menyatu. Keluarga bagaikan miniatur yang akan menjadi sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari sopan santun dan segala hal yang menjadi dasar pembentukan kepribadian anak. Menurut Syuqqah (2000), keluarga termasuk organisasi yang mempunyai kekhususan-kekhususan dan ditegakkan atas dasar cinta kasih, kemudian hubungan internalnya terjalin dengan suatu cara yang tidak terdapat dalam organisasi manapun.

Suami dan istri memiliki porsi tugas yang sama untuk menjaga keharmonisan keluarga. Pembentukan keluarga sakinnah, mawaddah, dan warahmah menjadi tanggung jawab bersama tanpa adanya berat sebelah. Relasi suami istri yang baik akan memengaruhi ketahanan keluarga yang baik, seimbang, dan harmonis. Hasil penelitian Razak et al. (2015) menemukan bahwa kualitas pernikahan dipengaruhi oleh berbagai aspek, salah satunya yaitu cara suami dan istri merespons stres yang dihadapi dan mencapai suatu kesepakatan. Sehingga, komunikasi yang terjadi pada keluarga khususnya suami istri memegang peran penting untuk menjaga kualitas pernikahan dalam menjaga ketahanan keluarga.

Rakmat (2007) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menumbuhkan hubungan interpersonal dalam upaya mencapai keberhasilan komunikasi interpersonal dalam keluarga, yaitu (1) adanya sikap percaya suami terhadap istri maupun sebaliknya. Kepercayaan ini merupakan sebuah bukti bahwa mereka tidak akan saling menghianati. Sikap percaya dalam keluarga akan terbangun apabila keduanya saling jujur dan saling menerima; (2) adanya sikap suportif atau sikap saling mendukung dan saling menghargai sehingga keduanya dapat menghilangkan sikap defensif yang cenderung menutup diri dalam setiap aktivitas komunikasi yang dilakukan; (3) adanya sikap terbuka yang nantinya dapat mendorong timbulnya saling pengertian, saling memahami dan saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal antara suami dan istri dalam upaya mencapai komunikasi interpersonal yang baik dan efektif dalam keluarga. Devito (2016) juga mengemukakan bahwa terdapat lima faktor yang dapat menentukan efektivitas komunikasi interpersonal, yaitu adanya keterbukaan, empati, sikap suportif, sikap positif, dan adanya kesetaraan. Oleh karena itu, suami dan istri mesti sama-sama berperan untuk membawa nakhoda rumah tangga mereka menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.

Salah satu karya sastra yang membahas isu relasi suami istri dan ketahanan keluarga adalah cerpen yang ditulis oleh Eka Kurniawan dengan judul “Gincu Ini Merah, Sayang”. Karya menawan ini merupakan salah satu cerpen yang ada pada buku kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.

Eka Kurniawan adalah penulis Indonesia yang pernah terpilih sebagai salah satu “Global Thinker of 2015” dari jurnal Foreign Policy. Pada tahun 2016, ia menjadi penulis Indonesia pertama yang dinominasikan untuk Man Booker International Prize, sebuah penghargaan sastra internasional yang diselenggarakan di Britania Raya. Alumnus Filsafat Universitas Gadjah Mada ini juga dikenal sebagai penulis yang sering mengangkat isu keperempuanan dalam karyanya.

Eka Kurniawan telah menelurkan banyak karya berupa cerpen dan novel, seperti Corat-Coret di Toilet (2000), Cantik Itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-Cerita Lainnya (2005), Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), dan karya lainnya.

Dari sekian banyak karya Eka Kurniawan, “Gincu Ini Merah, Sayang” menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan perspektif relasi gender dan ketahanan keluarga. Cerita pendek ini menarik karena memuat kisah perempuan yang sangat setia pada suami meski telah dituduh berselingkuh. Karena faktor komunikasi yang tidak berjalan efektif dan gincu merah yang dikenakan Marni, sang suami tega memvonis istrinya dengan melibatkan masa kelamnya dulu.  

Relasi Gender pada Cerita Pendek “Gincu Ini Merah, Sayang”

Cerpen “Gincu Ini Merah, Sayang” merupakan sebuah cerita yang mengisahkan seorang perempuan bernama Marni. Ia bekerja di bar dangdut, tempat remang-remang yang berada di sepanjang Jalan Daan Mogot. Ketika suatu hari Marni sudah bersolek dan siap mencari pelanggan, bertemulah ia dengan Rohmat Nurjaman. Sosok yang awalnya dianggap Marni sebagai pelanggan biasa ternyata ingin menjalin hubungan lebih.   

Awalnya, Marni tidak berniat ingin jadi pelacur di bar dangdut itu. Ia hanya diajak temannya yang bernama Maridah untuk ikut menemani pelanggan minum bir. Marni pun menurut. Namun, kenyataannya tak seperti yang Marni harapkan. Para pelanggan tentu tak hanya ingin ditemani minum saja. Tangan para pelanggan lelaki itu tak bisa diam. Jemari mereka cenderung bergerak, awalnya hanya menyentuh tangan, lama-lama merayap ke segala arah. Dari sinilah Marni tahu, jika ingin mendapat uang lebih banyak, ia mesti tidur dengan mereka.

Pertemuan Marni dengan Rohmat Nurjaman tak berbeda jauh dengan pertemuannya bersama pelanggan lainnya. Bedanya, Marni selalu diajak Rohmat keluar selepas bar tutup. Mereka menyewa motel untuk memadu kasih. Dengan begini, Marni mendapat untung karena tak perlu membagi penghasilannya dengan pemilik bar. Perlakuan lain dari Rohmat inilah yang membuat Marni jatuh hati. Hingga akhirnya, Rohmat menjadi pelanggan tetap.

Karena sama-sama dimabuk asmara, Rohmat mengajak Marni untuk kabur dari bar Belanda itu dan meminangnya. Marni mengiyakan. Mereka pun pergi ke pedalaman Banyumas dan menikah. Lalu, Rohmat membawa Marni ke Jakarta dan tinggal di sebuah rumah mungil agak di luar kota.

Eka Kurniawan mulai menambahkan bumbu konflik pada kehidupan Rohmat dan Marni selepas menikah. Rohmat dan Marni saling menaruh curiga dan khawatir dengan masa lalu pasangan mereka. Mereka selalu dihantui mimpi buruk yang mengingatkannya pada kenangan buruk di bar.

Ternyata itu bukan perkawinan yang mudah. Pada hari-hari pertama perkawinan mereka, Rohmat Nurjaman sering didera mimpi melihat istrinya ditiduri para pelanggan lain di kamar-kamar Beranda. Karena Rohmat Nurjaman tahu di suatu masa mimpinya merupakan kebenaran, ia sering dilanda kecemburuan begitu terbangun dari tidur. Marni juga didera khayalan yang mengganggu, membayangkan suaminya pergi ke Beranda dan meniduri gadis lain. Ini pun pernah terjadi dan mereka berdua tahu.

Kecemburuan itu membawa mereka pada pertengkaran kecil, yang lalu diselamatkan oleh cinta. Suatu hari, di bulan ketujuh belas pernikahan mereka, keduanya berjanji untuk tak lagi mengenang masa lalu dan mengubur habis semua kecemburuan. Setelah itu segalanya berjalan lebih baik. (Kurniawan, 2015)

Dari kutipan di atas, tampak adanya konflik batin yang dialami Rohmat dan Marni. Mereka saling menyimpan curiga karena pengaruh masa lalu masing-masing. Kondisi yang mereka alami menandakan rasa ketidakpercayaan satu sama lain. Meski begitu, pada hari ketujuh belas pernikahan, mereka sepakat untuk mengubur masa lalu yang kelam itu.   

Meski sudah sepakat untuk sama-sama mengubur masa lalu, masalah muncul kembali. Rohmat Nurjaman mempermasalahkan gincu yang sering dipakai istrinya itu. Gincu yang sama sebagaimana ia pernah melihatnya di keremangan bar Belanda. Ia ternyata masih menaruh prasangka buruk pada istrinya.

Marni masih mempergunakan gincu yang sama dan dengan cara yang sama. Rohmat Nurjaman ingin melarangnya, tapi berpikir jika ia melakukannya, itu hanya akan mengingatkan kepada masa-masa mereka di bar. Dari pagi ke pagi, dari senja ke senja, gincu itu semakin mengganggunya. Hingga akhirnya Rohmat Nurjaman mulai bertanya-tanya apa yang dilakukan istrinya sementara ia pergi bekerja.

Rohmat Nurjaman tak pernah berhasil membuktikan kecurigaan atas istrinya. Bahkan, meskipun beberapa kali ia sengaja mendadak pulang, ia selalu menemukan istrinya ada di rumah, menunggunya. (Kurniawan, 2015)

 

Memang ketika Rohmat dan Marni mengikrarkan pernikahan, keduanya telah berjanji untuk menjalani hidup baru sebagai suami dan istri, bukan pelayan bersama pelanggannya. Namun ternyata, selain Rohmat, Marni pun menaruh rasa curiga pada suaminya karena perubahan sikapnya yang berbeda drastis.

Hingga tiga tahun perkawinan mereka, Marni mendapati suaminya berubah. Rohmat Nurjaman sering tak pulang dan tak lagi mencumbunya dengan kegairahan seorang lelaki cabul. Barangkali aku tak lagi cantik, pikirnya. Barangkali karena tak juga kami punya anak, katanya kepada diri sendiri. Atau barangkali suaminya pergi kembali ke Beranda dan menemukan gadis yang lebih manis di sana? Barangkali gadis itu masih empat belas tahun dan mengoleskan gincu lebih tebal di bibirnya? Marni merasa panas namun mencoba membuang kecurigaan tersebut. Meski begitu, suatu malam ketika suaminya tak juga muncul selewat pukul dua belas dan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya tak pula menemukan jawaban, perempuan itu memutuskan keluar rumah.

Marni memoleskan gincu ke bibirnya, percaya itu akan membuat Rohmat Nurjaman kembali ke pelukannya. Ia menghentikan sebuah taksi dan minta diantar ke Beranda. Di sana, atas nama peraturan daerah tentang pelacuran, lima orang petugas menangkap Marni. Sejujurnya ia mulai menganggap semua itu hukuman untuknya, yang telah berburuk sangka suaminya pergi ke Beranda untuk meniduri perempuan lain. Menurut dia, itu malam buruk yang diawali pikiran buruk dan ia sungguh menyesal. (Kurniawan, 2015)

 

Kutipan di atas memperlihatkan jika relasi Rohmat dan Marni sebagai suami istri sudah tidak sehat dan perlu segera diselesaikan. Antar-keduanya sudah sama-sama menaruh curiga karena selalu terbayang dengan masa lalunya sebagai pelacur dan pelanggan. Jika rasa curiga ini tidak diatasi dengan solusi, dampak yang ditimbulkan akan meledak kapan saja bagaikan bom waktu. Otto (McCubbin 1988) menyebutkan bahwa komunikasi yang efektif termasuk salah satu komponen ketahanan keluarga. Komunikasi menjadi salah satu kunci penting untuk menjaga keharmonisan hubungan. Jika tak ada lagi komunikasi yang baik, setiap permasalahan yang muncul bisa berpengaruh besar pada ketahanan keluarga, khususnya bila masih di bawah usia pernikahan lima tahun.

Ketahanan Keluarga yang Rapuh pada Cerita Pendek “Gincu Ini Merah, Sayang”

Rasa kecurigaan yang dipendam oleh Marni dan Rohmat ternyata berujung fatal. Pada suatu malam Marni memakai gincu merah demi menarik perhatian suaminya kembali. Namun, kecurigaannya yang besar pada Rohmat yang sedang selingkuh membawanya pergi ke bar untuk membuktikan. Nahas, hari itu bertepatan dengan penertiban yang dilakukan oleh petugas. Marni sangat bingung dan panik karena ikut tertangkap. Padahal, ia tak terlibat lagi dalam kegiatan pemuas birahi di bar itu.  

Yang tak diduga Marni, nama perempuan bergincu itu, lima petugas tiba-tiba menghampiri dirinya, sebelum menangkap dan membawanya ke pick-up.

Aku hanya seorang ibu rumah tangga,” katanya, setelah keterkejutannya reda.

“Katakan itu nanti kepada suamimu,” seorang petugas menjawab.

Ini pasti malam yang buruk, pikirnya. Para petugas itu bicara mengenai peraturan daerah tentang pelacuran dan memperlakukannya seolah-olah ia pelacur. Dalam hatinya, ia mengakui pernah menjadi pelacur, tapi malam ini ia berani bersumpah bahwa dirinya hanya seorang ibu rumah tangga. Ia belum punya anak memang, Tuhan belum memberinya, tapi ia punya suami. Para petugas tak menggubris soal itu. Menurut mereka, semua pelacur selalu merasa punya suami dan mengaku hanya seorang ibu rumah tangga.

Bersama gadis-gadis dari bar, mereka membawanya ke kantor polisi dan memperoleh interogasi sepanjang malam. Ia meminta gadis-gadis itu membantunya meyakinkan para petugas bahwa dirinya bukan bagian dari mereka. Tapi tiga tahun berlalu dan ia tak lagi mengenali gadis-gadis itu, demikian pula mereka tak mengenalinya. Semuanya gadis baru dan ia tak menemukan teman-teman lamanya di antara mereka. Gadis-gadis itu tak punya gagasan tentang siapa perempuan itu dan apa yang dilakukannya di pintu Beranda pada pukul setengah dua malam. (Kurniawan, 2015)

Kutipan di atas menggambarkan betapa sialnya nasib Marni hari itu. Tragedi salah tangkap itu membawa dampak besar bagi ketahanan keluarganya bersama Rohmat. Menjelang ganti hari, Marni hanya bisa menangis tanpa henti. Ia takut kalau suaminya pasti khawatir dan saat ini sedang kebingungan mencarinya. Hingga akhirnya, di pagi hari, ada perempuan dari dinas sosial yang baik hati mau menghubungi suami Marni. Setelah bicara dengan Rohmat Nurjaman, suami Marni, perempuan dari dinas sosial itu kemudian berbaik hati mengantarkan Marni pulang. Penuh rasa syukur Marni mencuci muka, menaburkan bedak yang dipinjam dari seorang gadis bar ke mukanya, dan memoleskan gincu ke bibirnya. Ia akan pulang dan bertemu kembali dengan suaminya.

Sesampainya di rumah, Marni dihadapkan pada keadaan yang tak baik. Di atas sofa, tergeletak koper berisi barang-barangnya. Rohmat Nurjaman berdiri di pintu kamar, memandang wajah istrinya, terutama gincu di bibir Marni dengan sejenis tatapan kau-laksana-perempuan-binal, berkata pendek, “Sebaiknya kita bercerai saja.”

Marni ingin menjelaskan, tetapi tak tahu apa yang harus dijelaskan. Rohmat Nurjaman tampaknya juga tak menginginkan penjelasan. Sebenarnya, Rohmat Nurjaman tak suka melihat istrinya mempergunakan gincu. Tapi jika ia melarangnya, dan kemudian mengemukakan alasannya, ia khawatir itu akan menyinggung perasaan istrinya. Marni pasti tak suka jika kepadanya ia berkata, “Dengan gincu itu kau tampak serupa pelacur.”

Gincu seperti dijadikan simbol pelabelan pada diri Marni sebagai perempuan. Jika ditelisik dari masa lalu, baik Marni maupun Rohmat memiliki masa kelam yang buruk. Marni pernah bekerja sebagai pelacur di sebuah bar. Rohmat juga pernah jadi pelanggan setia di bar. Namun, pada cerita pendek tersebut, gincu dijadikan konteks sebagai pembelengguan diri Marni. Terlihat jelas bahwa Rohmat selaku pria, ia menyatakan kebebasan berpikirnya untuk menilai istrinya tanpa pertimbangan jelas. Lalu, tragedi salah tangkap yang dirasakan Marni saat itu seakan menjadi bukti dukungan bagi Rohmat bahwa Marni belum benar-benar lepas dari masa kelamnya.

Tanpa mendengar penjelasan istrinya, Rohmat memutuskan untuk bercerai dengan Marni. Langkah yang diambil Rohmat ini mengesampingkan verifikasi. Tanda ada niatan untuk meluruskan prasangkanya, Rohmat seketika mengambil keputusan bulat secara sepihak. Dalam hal ini, ketahanan keluarga Rohmat dan Marni sudah terbilang rapuh karena tidak adanya komunikasi efektif.

Seperti yang dijelaskan oleh Rakmat (2007) bahwa faktor inti yang dapat menumbuhkan hubungan interpersonal keluarga adalah sikap percaya, saling dukung, dan terbuka. Tiga faktor inti ini tak diimplementasikan oleh Marni dan Rohmat pada pernikahannya. Ditambah lagi dengan sikap Rohmat yang seakan bebas menilai istrinya sendiri tanpa adanya empati, upaya verifikasi, dan rasa sayang. Sehingga, kata “cerai” jadi lebih mudah diucapkan.

Ketika menjalin ikatan pernikahan, suami-isteri seharusnya sudah mampu menerima perihal kekurangan pasangan masing-masing, termasuk latar belakangnya. Bukan hanya perempuan yang bisa dinilai dari masa lalunya, tetapi laki-laki juga berhak dinilai dari masa lalunya. Dengan masa lalu yang buruk, seseorang tak selamanya bisa divonis buruk pula. Ketahanan keluarga yang kuat bisa dibangun jika suami-istri saling sinergi memperkokoh pondasi pernikahan. Sikap saling percaya, saling dukung, dan saling terbuka adalah materialnya. Itu semua bisa dilakukan dengan upaya komunikasi yang efektif. 

Kini, Marni kembali bekerja di bar tersebut, Marni terus memelihara keyakinan bahwa suatu malam suaminya akan muncul, lalu mereka akan memulai semuanya dari awal. Dalam penantiannya, ia masih kukuh pada janji yang tak pernah diucapkannya. Ia tak mengenakan gincu. Seorang gadis dua belas tahun yang baru bekerja di sana pernah menanyakan mengapa ia tak bergincu, dan Marni menjawab:

“Gincu ini merah, Sayang, dan itu hanya untuk suamiku.” (Kurniawan, 2015)

Selepas bercerai, Marni akhirnya kembali bekerja di bar. Eka Kurniawan tak menjelaskan alasan detail mengapa Marni pada akhirnya kembali mengais rezeki di sarang lendir itu. Ia menutup cerita epic ini dengan sikap Marni yang masih terus berharap suaminya datang untuk menjemputnya. Ia berjanji tak akan menggunakan gincu merah. Menurutnya, ia akan mengenakan perona bibir merah itu hanya untuk suami tercintanya.  

 

DAFTAR PUSTAKA

Syuqqah, Abu. 2000. Kebebasan Wanita, Jilid 5. Jakarta: Gema Insani Press.

Cahyaningtyas A, Tenrisana AA, Triana D, dkk. 2016. Pembangunan Ketahanan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa.

Devito, Joseph A. 2016. Komunikasi Antarmanusia. Tangerang: Karisma Publishing Group.

Kurniawan, Eka. 2015. Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

McCubbin, Joy, C. B., Cauble, A. E., et al. 1988. Family Stress and Coping: A Decade Review. Journal of Marriage and the Family, 42, 855–871.

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Post a Comment

0 Comments